GERD merupakan kepanjangan dari GastroEsophageal Reflux Disease, merupakan penyakit yang diakibatkan kembalinya (reflux) asam lambung ke kerongkongan (esofagus) akibat adanya gangguan pada cincin (sifingter) esofagus bagian bawah. GERD sering disebut juga sebagai heartburn.
Rata-rata angka kejadian GERD di seluruh dunia berkisar antara 8-9% tiap 100.000 penduduk dan bervariasi antarnegara. Di Indonesia angka kejadian GERD meningkat dari tahun ke tahun hingga mencapai 20% pada tahun 2016 dan bertambah seiring bertambahnya usia seseorang. Kejadian GERD meningkat pada orang dengan obesitas, kehamilan, mempunyai hernia hiatal (tonjolan sebagian lambung di atas diafragma) dan beberapa penyakit lainnya.
Gejala GERD yang banyak dijumpai antara lain:
Gejala-gejala GERD dapat diperberat dengan merokok, makan dalam porsi besar atau makan terlalu larut malam, minum minuman beralkohol dan berkafein berlebihan, juga penggunaan obat-obatan anti nyeri golongan non steroid (NSAID, nonsteroidal anti-inflammatory drugs) seperti meloksikam dan natrium diklofenak.
Cara diagnosis GERD yang utama adalah melalui endoskopi. Pemeriksaan ini dilakukan dengan memasukkan selang dengan kamera di ujungnya melalui mulut pasien. Melalui endoskopi, dokter dapat melihat adanya iritasi atau peradangan di esofagus dan lambung, termasuk apabila dijumpai adanya tumor.
Selain itu melalui endoskopi dokter juga dapat mengambil sampel jaringan untuk dilakukan biopsi untuk mendeteksi adanya kelainan yang lebih berat seperti Barret esophagus dan kanker.
Selain endoskopi, pemeriksaan dengan x-ray (rontgen) juga dapat dilakukan. Sebelum di foto pasien diminta meminum cairan kontras sehingga dokter dapat mengamati adanya penyempitan di area saluran cerna.
Baca Juga: 7 Ciri-Ciri Alergi Susu Formula pada Bayi dan Cara Menanganinya
Tujuan utama pengobatan GERD adalah meredakan gejala dan mencegah komplikasi yang berat seperti esofagitis, Barret esophagus, dan kanker.
Beberapa cara yang dapat dilakukan seperti:
Pada dasarnya GERD dapat menyerang siapa saja, namun angka kejadian jauh lebih tinggi pada orang dengan obesitas. Berat badan yang berlebih dan peningkatan lemak perut dapat membuat tekanan di dalam perut semakin tinggi sehingga meningkatkan risiko regurgitasi asam lambung kembali ke esofagus.
Beberapa makanan dan minuman yang dikonsumsi dapat meningkatkan risiko timbulnya GERD dan dapat berbeda pada setiap pasien. Beberapa makanan dan minuman yang sebaiknya dibatasi untuk dikonsumsi, seperti produk olahan tinggi lemak (makanan cepat saji), buah-buahan yang terlalu asam, minuman bersoda dan tinggi kafein seperti kopi dan teh, dan minuman beralkohol.
Makanan yang terlalu asam dapat meningkatkan kadar keasaman di lambung, sedangkan soda yang mengandung gas karbon dioksida mempermudah timbulnya sendawa yang dapat meningkatkan jumlah asam yang kembali ke esofagus. Beberapa ahli menyarankan untuk membatasi konsumsi kafein karena kafein dapat merelaksasi sfingter esofagus.
Dengan mengetahui jenis makanan dan minuman yang menimbulkan GERD, pasien dapat meminimalisasi konsumsinya.
Kandungan bahan berbahaya pada rokok dapat merusak sfingter esofagus di mana tugas utama sfingter ini adalah menahan agar asam lambung tidak kembali ke esofagus. Kelemahan dan bahkan kerusakan sfingter esofagus membuat seseorang dapat merasakan gejala-gejala GERD. Hal ini juga berlaku tidak hanya pada perokok aktif, perokok pasif juga dapat mengalami gejala serupa bila terus-menerus terpapar.
Baca Juga: Alergi Kulit pada Bayi (Dermatitis Atopik): Gejala, Faktor Risiko, dan Cara Penanganannya
Makan terlalu malam harus dihindari oleh penderita GERD. Hal ini karena saat malam hari, seseorang cenderung tidak beraktivitas dan mendekati jam tidur. Para ahli menyarankan agar tidak langsung berbaring setelah makan dan menunggu kurang lebih 2-3 jam agar tubuh mempunyai waktu yang cukup untuk mengosongkan lambung dan meminimalisasi risiko refluks.
Mengurangi konsumsi lemak dan memperbanyak protein dan serat dapat membantu menurunkan risiko timbulnya GERD karena diet tinggi protein dan serat membuat tubuh menjadi lebih mudah kenyang sehingga dapat mencegah makan berlebihan (overeating).
Karena gejala GERD banyak muncul setelah makan, dianjurkan makan dengan porsi lebih kecil untuk menjaga agar sfingter esofagus tidak bekerja terlalu berat.
Beberapa pasien mengalami gejala GERD saat tidur di malam hari. Hal ini dapat mengganggu kualitas tidur dan membuat pasien terjaga. Dengan posisi kepala yang lebih tinggi dapat membantu mengurangi frekuensi regurgitan kembali dibandingkan dengan tidur dengan posisi flat.
Obat-obatan golongan antasida dapat mengurangi gejala GERD dengan cepat karena dapat menetralisir asam lambung.
Menurunkan produksi asam lambung merupakan cara yang efektif mengatasi GERD. Beberapa contoh obat yang dapat digunakan adalah golongan penghambat reseptor H2 seperti ranitidin, dan penghambat pompa proton seperti omeprazole dan lansoprazole.
Baca Juga: Herpes Labialis: Pengertian, Penyebab, Faktor Risiko, dan Cara Mengobati
Pada GERD tingkat lanjut dimana obat-obatan tidak mampu lagi mengatasi gejala, dibutuhkan tindakan pembedahan. Salah satu teknik operasi yang digunakan adalah fundoplikasi di mana dokter akan mengikat bagian atas lambung untuk memperkuat otot dan mencegah timbulnya refluks.
Pencegahan GERD dapat dilakukan dengan mengontrol pola makan, menghindari makanan pencetus, dan juga menjaga berat badan ideal.
Leon
dr. Eduard Leonid adalah seorang dokter umum lulusan Universitas Airlangga Surabaya tahun 2011. Penulis saat ini bekerja sebagai dokter tetap di RS SMC Telogorejo Semarang.
Thank you for contacting the Carevo team, our team will
immediately contact you with related topics